Sabtu, 12 November 2016

Mukadimah Cangkrukan Syafaat : Konsep Nirkekerasan Mahatma Gandhi

oleh Departemen Sastra dan Keilmuan SKI FIB Unair
Jumat, 11 Nopember 2016


Mukadimah
“yang mana yang harus kita lakukan lebih banyak?
Minta maaf sebanyak-banyaknya,
ataukah menyiapkan permaafan seluas-luasnya?”, Emha Ainun Nadjib

Nirkekerasan bukanlah sikap anti-kekerasan. Juga nirkekerasan tidak lahir sebagai antitesa dari kekerasan. Nirkekerasan lebih tua usianya daripada kekerasan. Kekerasan ada setelah ‘heningnya’ nirkekerasan hilang dari diri seseorang atau sekelompok manusia. Maka nirkekerasan jangan pernah dipakai sebagai tameng kepengecutan, nirkekerasan merupakan senjatanya orang-orang pemberani. Nirkekerasan adalah ketika kita men(usahakan)cintai orang yang membenci kita. Gandhi sadar bahwa akan sulit mengikuti sunnatullah(hukum agung) cinta kasih ini. Hanya karena keagungan Tuhanlah kita akan sanggup melaksanakannya. Nirkekerasan adalah ketika dalam sebuah konflik, tidak akan kita temui dendam di kemudian hari.
Dalam sebuah perjuangan, baik itu perjuangan untuk melawan penguasa ataupun mempertahankan martabat manusia, prinsip nirkekerasan selalu berakar dari nilai cinta kasih. Tujuannya tidak boleh untuk menghukum atau melukai lawan. Tujuannya tidak lain adalah menempatkan kita dan pihak lawan dalam kesejajaran martabat sebagai manusia seutuhnya. Konsep nirkekerasan selalu berkaitan erat dengan satyagraha, yakni sesuatu yang sebetulnya sudah ada di dalam diri manusia sehingga tidak perlu mencarinya di luar diri manusia.
Ahimsa adalah kemenyeluruhan kebenaran dalam kehidupan. Manusia tidak bisa menerapkan kebaikan dan kebenaran pada satu sisi kehidupan, sementara di sisi lain ia mengingkarinya. Tidak menginjak semut yang berjalan beriringan di lantai pun adalah ahimsa, tapi itu adlah ekspresi terkecilnya.
Apabila hanya ada dua pilihan dalam menghadapi lawan(mis. Penjajah), yakni kepengecutan atau sikap kekerasan maka seorang pelaku nirkekerasan haruslah memilih kekerasan. Sebab bagi Gandhi lebih baik India dipersenjatai daripada harus membungkuk-bungkuk menjadi pengecut, menjilat, dan kehilangan kehormatan. Ini bukan tentang egoisme dan chauvinisme dari sebuah bangsa. Ini adalah perjuangan mempertahankan martabat manusia keseluruhan di muka bumi. Namun Gandhi yakin bahwa nirkekerasan lebih tinggi derajatnya daripada kekerasan. Pengampunan lebih manusiawi daripada hukuman. Tetapi keputusan untuk tidak menghukum hanya bisa disebut pengampunan jika ada kekuasaan dan kesempatan untuk menghukum. Pengampunan menjadi tidak berarti apabila dilakukan oleh orang yang tidak berdaya. Pengampunan seekor tikus pada seekor kucing yang telah menerkam dan akan mencabik-cabiknya bukanlah pengampunan yang sejati, karena kondisi tikus di saat seperti itu tidak berdaya sama sekali.
Pada tahun 1919, Jenderal Inggris Reginald E. Dyer bertanggung jawab atas pembunuhan massal penduduk sipil  India di Amritsar. Seluruh India mengecam akan bersatu dan mencabik-cabik semua yang berhubungan dengan Inggris di Anak Benua itu. Pada saat itu, imperium Inggris di India sudah mulai goyah dan hanya masyarakat Indialah yang mampu mempertahankan imperium itu untuk lebih lama lagi. Gandhi mengapresiasi sentiment masyarakat dalam mengecam tindakan Jenderal ini, tetapi ia menyerukan bahwa kekuatan segenap bangsa India masih diperlukan untuk tujuan lain yang lebih baik dan penting.
Rumus Gandhi adalah ketika kita sanggup mengampuni—padahal kita mempunyai kekuatan yang berlebih untuk menghukum—maka akan datang gelombang besar kekuatan dalam diri kita. yang akan membuat seorang Dyer tidak mampu lagi untuk melakukan penghinaan kepada orang India yang setia pada nirkekerasan.
(Dalam tarikh Islam dikisahkan bahwa Sayyidina Ali di penghabisan sebuah perang berhasil menawan lawan dan dalam sekali ayun sebenarnya pedangnya sanggup menghabisi nyawa tawanan itu. Namun, beliau menarik kembali pedang itu dari leher si tawanan karena khawatir ia membunuh karena kebencian dalam hatinya.)
Nirkekerasan bukanlah berleha-leha dalam penindasan lawan. Sebab dalam konteks tertentu, penindasan bisa juga berarti menempatkan kita dalam posisi nyaman sehingga kita tidak sadar akan kemampuan dan kekuatan kita. Nirkekerasan adalah sikap perlawanan yang non-kooperatif(non-kerjasama), dengan jalan keberanian untuk menderita dengan tetap menjaga perlawanan kita agar jangan sampai ada unsure kemarahan dan kebencian.
Nirkekerasan juga bukan sikap non-kerjasama yang akan berubah menjadi sikap ‘bekerjasama’ dengan pihak lawan apabila tindakan lawan sudah sesuai dengan keinginan dan kehendak kita. Sebisa mungkin kita harus menghilangkan unsur mementingkan diri sendiri dalam sebuah perlawanan nirkekerasan. Nirkekerasan adalah sarana untuk mendapatkan kerjasama dengan lawan dalam sebuah silaturrahim yang konsisten dan adil. Maka untuk mencapai suatu hubungan yang fitriah atau semurni-murni hubungan, maka tidak boleh menghindari komunikasi dengan lawan.
Kampanye-kampanye Nirkekerasan yang dilakukan oleh Gandhi sangat memikat banyak orang. Pada saat melakukan kampanye Salt March, di mana Gandhi dan beberapa pengikutnya (yang kemudian diikuti oleh penduduk India di daerah yang dilewatinya) melakukan perjalanan Long March dari Ahmedabad(tempat tinggal Gandhi) ke daerah pesisir sentra produksi garam, Dandi. Di pesisir tersebut, Gandhi mengambil segenggam garam dan mengangkatnya ke udara sebagai bentuk ketidakpatuhan sipil terhadap kebijakan kolonial Inggris yang melarang warga India memproduksi garam guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Alhasil dengan aksi damai ini, rakyat India diperbolehkan membuat garam kembali.
Meskipun dalam tiap aksi ketidakpatuhan sipil, Gandhi selalu melibatkan segenap elemen masyarakat, tapi ia sangat mengkritisi tiap gerakan yang berbasiskan massa. Gandhi menilai bahwa manusia yang berada dalam gerombolan tidak mempunyai kejernihan pikiran sehingga akan cepat tersulut untuk bertindak gila-gilaan. Beberapa aksi protes damai Gandhi pun terkadang ia hentikan sendiri padahal sudah akan mendekati keberhasilannya. Alasan ia menghentikan aksi protesnya adalah para pelaku aksi sudah kehilangan semangat nirkekerasan. Sehingga apabila diteruskan akan melahirkan kekerasan yang lebih fatal. Gandhi juga piawai dalam mempengaruhi masyarakat lewat pidato-pidato singkatnya. Dalam berpidato ia sama sekali tidak melakukan persiapan sebelumnya. Dalam sebuah wawancara oleh seorang jurnalis, ia ditanya apa rahasia sehingga kata-kata dalam pidatonya sedemikian hidup dan merasuk dalam sanubari para satyagrahi(*pelaku nirkekerasan). Gandhi menjawab bahwa ia mengatakan apa yang telah ia pikirkan dan lakukan selama hidupnya. Jadi dalam setiap pandangannya terhadap berbagai masalah Gandhi tidak pernah mengalami ketidaksesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Itulah prinsip ahimsa yang sesungguhnya. 


[Cermin] Aksi ‘bela Islam’ pada tanggal 4 November kemarin menuai banyak simpati, emosi, kritik, bahkan hujatan dan cibiran. Ada yang berujar bahwa aksi kemarin lebih banyak dilatarbelakangi oleh atmosfer politik menjelang Pemilukada dan sentiment terhadap etnis tertentu yang telah disemaikan selama beberapa tahun ini, dan menemui momentumnya ketika seorang tokoh publik ‘salah sajian’ dalam pidatonya.
Aksi kemarin bisa digolongkan ke dalam aksi protes sipil yang ‘konon’ merujuk pada semangat beragama. Dikabarkan datang pula massa dari luar daerah yang akan sumpah setia ‘menghakimi’ mulut lancang Gubernur Jakarta. Mencoba dihubungkan dengan prinsip nirkekerasan ala Gandhi, aksi kemarin ada baiknya untuk dikritisi dan dipetakan kembali. Harus belajar kembali kepada semua elemen aksi; apakah berkumpulnya mereka di Jakarta itu didasarkan atas iman, ukhuwah Islaamiyah, ukhuwah insaniyah, murni karena Allah dan Rasulullah? Atau berkumpulnya mereka sekedar karena kebencian kepada musuh yang sama? Lalu apakah salah di mata Allah apabila kita berkumpul hanya karena membenci musuh yang sama?
Pertanyaan ini sama nilainya dengan pertanyaan : kalau kolonialisasi dan penghisapan Belanda thd nusantara membawa dampak bersatunya kepulauan ini di bawah payung bernama Indonesia, apakah kita akan menyimpulkan bahwa penjajahan itu baik dan diperlukan?
“Manusia harus selalu berpedoman kepada sebab yang serba baik untuk menuju akibat yang baik. Serta perhitungan yang sematang-matangnya dilandasi ilmu dari Allah. Namun manusia juga harus patuh kepada hukum Allah tentang pergerakan sejarah dan nasib yg tidak dapat ditebak manusia.[]

Selasa, 13 Oktober 2015

catatan harian seorang sultan



CATATAN HARIAN SEORANG SULTAN
Iman Budhi Santosa

Sekian purnama kelelawar-kelelawar menyerbu
ke dalam semadiku. Melati kenanga bersengketa
asap dupa tak berbau, keris tombak berdiri
berontak dari genggaman para abdi

Kemudian remang ada pada tiang, mahkota lusuh 
membisu di sudut ruang. "Siapakah engkau 
jika istana tinggal bayang-bayang
lalat nyamuk menari di pagelaran
burung-burung gereja bersarang di bubungan?"

sesekali aku berdiri mencari puncak Merapi
sebelum gerbang terkunci. Sesekali meniti buih
laut selatan, menapaki pasir karang
sambil mengaca, "Aku bukan raja.."
Sebab, tikus mulai ada di kamar pusaka
burung malam seperti mengecam
kota dan tembok benteng yang berseberangan

Sekian musim bercermin pada rumput
pada taman yang berlumut, sisa keraton
tinggal bangunan tua dan rindang pohon.
"Jangan panggil aku Gusti..."
Tapi mereka nekat ngapurancang di depan cepuri
menunduk pada huruf-huruf Jawa yang tak terbaca
oleh lidah yang lama mengembara

1997