Jumat, 11 Nopember 2016
Mukadimah
“yang
mana yang harus kita lakukan lebih banyak?
Minta
maaf sebanyak-banyaknya,
ataukah
menyiapkan permaafan seluas-luasnya?”, Emha Ainun Nadjib
Nirkekerasan
bukanlah sikap anti-kekerasan. Juga nirkekerasan tidak lahir sebagai antitesa
dari kekerasan. Nirkekerasan lebih tua usianya daripada kekerasan. Kekerasan
ada setelah ‘heningnya’ nirkekerasan hilang dari diri seseorang atau sekelompok
manusia. Maka nirkekerasan jangan pernah dipakai sebagai tameng kepengecutan,
nirkekerasan merupakan senjatanya orang-orang pemberani. Nirkekerasan adalah
ketika kita men(usahakan)cintai orang yang membenci kita. Gandhi sadar bahwa
akan sulit mengikuti sunnatullah(hukum agung) cinta kasih ini. Hanya karena
keagungan Tuhanlah kita akan sanggup melaksanakannya. Nirkekerasan adalah
ketika dalam sebuah konflik, tidak akan kita temui dendam di kemudian hari.
Dalam sebuah perjuangan, baik itu perjuangan untuk
melawan penguasa ataupun mempertahankan martabat manusia, prinsip nirkekerasan
selalu berakar dari nilai cinta kasih. Tujuannya tidak boleh untuk menghukum
atau melukai lawan. Tujuannya tidak lain adalah menempatkan kita dan pihak
lawan dalam kesejajaran martabat sebagai manusia seutuhnya. Konsep nirkekerasan
selalu berkaitan erat dengan satyagraha, yakni sesuatu yang sebetulnya sudah
ada di dalam diri manusia sehingga tidak perlu mencarinya di luar diri manusia.
Ahimsa adalah kemenyeluruhan kebenaran dalam
kehidupan. Manusia tidak bisa menerapkan kebaikan dan kebenaran pada satu sisi
kehidupan, sementara di sisi lain ia mengingkarinya. Tidak menginjak semut yang
berjalan beriringan di lantai pun adalah ahimsa, tapi itu adlah ekspresi
terkecilnya.
Apabila hanya ada dua pilihan dalam menghadapi
lawan(mis. Penjajah), yakni kepengecutan atau sikap kekerasan maka seorang
pelaku nirkekerasan haruslah memilih kekerasan. Sebab bagi Gandhi lebih baik
India dipersenjatai daripada harus membungkuk-bungkuk menjadi pengecut, menjilat,
dan kehilangan kehormatan. Ini bukan tentang egoisme dan chauvinisme dari
sebuah bangsa. Ini adalah perjuangan mempertahankan martabat manusia
keseluruhan di muka bumi. Namun Gandhi yakin bahwa nirkekerasan lebih tinggi
derajatnya daripada kekerasan. Pengampunan lebih manusiawi daripada hukuman.
Tetapi keputusan untuk tidak menghukum hanya bisa disebut pengampunan jika ada kekuasaan dan kesempatan untuk menghukum. Pengampunan
menjadi tidak berarti apabila dilakukan oleh orang yang tidak berdaya. Pengampunan
seekor tikus pada seekor kucing yang telah menerkam dan akan mencabik-cabiknya
bukanlah pengampunan yang sejati, karena kondisi tikus di saat seperti itu
tidak berdaya sama sekali.
Pada tahun 1919, Jenderal Inggris Reginald E. Dyer
bertanggung jawab atas pembunuhan massal penduduk sipil India di Amritsar. Seluruh India mengecam
akan bersatu dan mencabik-cabik semua yang berhubungan dengan Inggris di Anak
Benua itu. Pada saat itu, imperium Inggris di India sudah mulai goyah dan hanya
masyarakat Indialah yang mampu mempertahankan imperium itu untuk lebih lama
lagi. Gandhi mengapresiasi sentiment masyarakat dalam mengecam tindakan
Jenderal ini, tetapi ia menyerukan bahwa kekuatan segenap bangsa India masih
diperlukan untuk tujuan lain yang lebih baik dan penting.
Rumus Gandhi adalah ketika kita sanggup
mengampuni—padahal kita mempunyai kekuatan yang berlebih untuk menghukum—maka
akan datang gelombang besar kekuatan dalam diri kita. yang akan membuat seorang
Dyer tidak mampu lagi untuk melakukan penghinaan kepada orang India yang setia
pada nirkekerasan.
(Dalam
tarikh Islam dikisahkan bahwa Sayyidina Ali di penghabisan sebuah perang
berhasil menawan lawan dan dalam sekali ayun sebenarnya pedangnya sanggup
menghabisi nyawa tawanan itu. Namun, beliau menarik kembali pedang itu dari
leher si tawanan karena khawatir ia membunuh karena kebencian dalam hatinya.)
Nirkekerasan bukanlah berleha-leha dalam penindasan
lawan. Sebab dalam konteks tertentu, penindasan bisa juga berarti menempatkan kita
dalam posisi nyaman sehingga kita tidak sadar akan kemampuan dan kekuatan kita.
Nirkekerasan adalah sikap perlawanan yang non-kooperatif(non-kerjasama), dengan
jalan keberanian untuk menderita dengan tetap menjaga perlawanan kita agar
jangan sampai ada unsure kemarahan dan kebencian.
Nirkekerasan
juga bukan sikap non-kerjasama yang akan berubah menjadi sikap ‘bekerjasama’
dengan pihak lawan apabila tindakan lawan sudah sesuai dengan keinginan dan
kehendak kita. Sebisa mungkin kita harus menghilangkan unsur mementingkan diri
sendiri dalam sebuah perlawanan nirkekerasan. Nirkekerasan adalah sarana untuk
mendapatkan kerjasama dengan lawan dalam sebuah silaturrahim yang konsisten dan
adil. Maka untuk mencapai suatu hubungan yang fitriah atau semurni-murni
hubungan, maka tidak boleh menghindari komunikasi dengan lawan.
Kampanye-kampanye
Nirkekerasan yang dilakukan oleh Gandhi sangat memikat banyak orang. Pada saat
melakukan kampanye Salt March, di
mana Gandhi dan beberapa pengikutnya (yang kemudian diikuti oleh penduduk India
di daerah yang dilewatinya) melakukan perjalanan Long March dari
Ahmedabad(tempat tinggal Gandhi) ke daerah pesisir sentra produksi garam,
Dandi. Di pesisir tersebut, Gandhi mengambil segenggam garam dan mengangkatnya
ke udara sebagai bentuk ketidakpatuhan sipil terhadap kebijakan kolonial
Inggris yang melarang warga India memproduksi garam guna memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Alhasil dengan aksi damai ini, rakyat India diperbolehkan membuat
garam kembali.
Meskipun
dalam tiap aksi ketidakpatuhan sipil, Gandhi selalu melibatkan segenap elemen
masyarakat, tapi ia sangat mengkritisi tiap gerakan yang berbasiskan massa.
Gandhi menilai bahwa manusia yang berada dalam gerombolan tidak mempunyai
kejernihan pikiran sehingga akan cepat tersulut untuk bertindak gila-gilaan.
Beberapa aksi protes damai Gandhi pun terkadang ia hentikan sendiri padahal
sudah akan mendekati keberhasilannya. Alasan ia menghentikan aksi protesnya
adalah para pelaku aksi sudah kehilangan semangat nirkekerasan. Sehingga
apabila diteruskan akan melahirkan kekerasan yang lebih fatal. Gandhi juga
piawai dalam mempengaruhi masyarakat lewat pidato-pidato singkatnya. Dalam
berpidato ia sama sekali tidak melakukan persiapan sebelumnya. Dalam sebuah
wawancara oleh seorang jurnalis, ia ditanya apa rahasia sehingga kata-kata
dalam pidatonya sedemikian hidup dan merasuk dalam sanubari para satyagrahi(*pelaku
nirkekerasan). Gandhi menjawab bahwa ia mengatakan apa yang telah ia pikirkan
dan lakukan selama hidupnya. Jadi dalam setiap pandangannya terhadap berbagai
masalah Gandhi tidak pernah mengalami ketidaksesuaian antara pikiran,
perkataan, dan perbuatan. Itulah prinsip ahimsa yang sesungguhnya.
[Cermin] Aksi
‘bela Islam’ pada tanggal 4 November kemarin menuai banyak simpati, emosi,
kritik, bahkan hujatan dan cibiran. Ada yang berujar bahwa aksi kemarin lebih
banyak dilatarbelakangi oleh atmosfer politik menjelang Pemilukada dan sentiment
terhadap etnis tertentu yang telah disemaikan selama beberapa tahun ini, dan
menemui momentumnya ketika seorang tokoh publik ‘salah sajian’ dalam pidatonya.
Aksi
kemarin bisa digolongkan ke dalam aksi protes sipil yang ‘konon’ merujuk pada
semangat beragama. Dikabarkan datang pula massa dari luar daerah yang akan
sumpah setia ‘menghakimi’ mulut lancang Gubernur Jakarta. Mencoba dihubungkan
dengan prinsip nirkekerasan ala Gandhi, aksi kemarin ada baiknya untuk
dikritisi dan dipetakan kembali. Harus belajar kembali kepada semua elemen
aksi; apakah berkumpulnya mereka di Jakarta itu didasarkan atas iman, ukhuwah
Islaamiyah, ukhuwah insaniyah, murni karena Allah dan Rasulullah? Atau
berkumpulnya mereka sekedar karena kebencian kepada musuh yang sama? Lalu
apakah salah di mata Allah apabila kita berkumpul hanya karena membenci musuh
yang sama?
Pertanyaan
ini sama nilainya dengan pertanyaan : kalau kolonialisasi dan penghisapan
Belanda thd nusantara membawa dampak bersatunya kepulauan ini di bawah payung
bernama Indonesia, apakah kita akan menyimpulkan bahwa penjajahan itu baik dan
diperlukan?
“Manusia
harus selalu berpedoman kepada sebab yang serba baik untuk menuju akibat yang
baik. Serta perhitungan yang sematang-matangnya dilandasi ilmu dari Allah.
Namun manusia juga harus patuh kepada hukum Allah tentang pergerakan sejarah
dan nasib yg tidak dapat ditebak manusia.[]